Senin, 15 Juni 2009

Berhala Itu Bernama Budaya Pop



Judul Buku: Berhala Itu Bernama Budaya Pop
Penulis: Ridho “Bukan” Rhoma
ISBN: 978-979-19799-2-4
Tebal: 92 hal + x
Ukuran: 21 x 14,5 cm
Harga: 27.500,-
Penerbit: Leutika Yogyakarta
Distributor Tunggal:
CV. DIANDRA PRIMAMITRA MEDIA
0274-871159, 081578784085, diandramedia@gmail.com

CUAP-CUAP PENULIS:
Pertama-tama dan yang paling utama serta tidak akan lama-lama. Para hadirin dan hadirat. Pak Amin dan Pak Amat. Baik yang sudah kawin maupun yang belom sunat. Juga para pembaca yang sukanya mangap (huwaaaa). Saya ingin mengucapkan sepatah, dua patah, hingga kata-kata saya bisa membuat goyang patah-patah. Annisa Bahar pun kalah, apalagi Inul dan yang sealiran darah, dalam sambutan ini. Kita dilarang begadang, begadang sih boleh saja, asal ada manfaatnya. Demikian kata ayah saya, Pak Haji “Bukan” Rhoma.

Gak berpanjang lebar. Karena kalau panjang-panjang kasian para ibu dan kalau lebar-lebar kasian para bapak. Halah, ngomong opo iki. Yups, singkat aja. Berbicara tentang budaya pop, maka tak lain kita sedang membicarakan tentang budaya yang sedang ngepop alias sedang in di sekitar kita. So, jelas banyak dong. Di tengah arus yang serba ngepop ini, tentu kita sadar bahwa kita telah dihipnotis oleh berbagai rayuan sehingga menghilangkan kesadaran kita sebagai manusia.

Kita jangan mau dikendalikan oleh budaya yang sebenarnya buatan manusia sendiri, sehingga terkadang kita menjadikannya sebagai berhala baru yang disembah-sembah. Kita harus bangun dan dunia yang meninabobokan kita, dunia khayal yang memberikan mimpi-mimpi mbelgedes. Apa itu mimpi-mimpi mbelgedes? Semuanya ada di buku ini.

Karya ini dipersembahkan buat mereka yang suka memlototi tivi tanpa henti. Buat mereka yang suka maenan HP (dengan segala merknya). Buat mereka yang gandrung ngegame. Buat mereka yang suka nongkrong di mall and cafe (asal nggak di WC aja. Bau cing). Buat para cewek (khususnya) yang suka banget ama fesyen. Buat gadis-gadis yang suka bersolek dan berdandan abis akibat korban produk-produk kosmetik. Buat para user atau netters. Serta buat mereka yang doyan googling dan yang kecanduan ma facebook. Selamat berteman dengan berhala baru itu yaw...

Buku ini gado-gado. Ada kacang, tahu, wortel, tempe, dan telur. Satu porsi lima rebu, pesen gak? (hus, ngawur). Maksudnya, kadang lucu, wagu, ato serius buanget (tapi banyak seriusnya ding). So, buku mi terbuka untuk diapakan saja, asal jangan dibuang (kasian yang nulis, hi, hi, hi...). Dibaca keseluruhan (excelent). Dibaca beberapa bab saja (guuuuud). Hanya membaca daftar isi atau pengantarnya (sip wae lah, no comment). Atau sekedar membaca judul buku di sampulnya (monggo wes). Nggak ada yang melarang. Oh ya, thanks a lot buat Mas Eko Prasetyo yang udah kasih kata pengantar.

Ridho”Bukan” Rhoma
Wirobrajan, akhir April 2009



Kata Pengantar:
Eko Prasetyo *)

Penyesalan untuk hal -hal yang kita lakukan bisa semakin berkurang dengan
berlalunya waktu;penyesalan untuk hal-hal yang tidakkita lakukan itulah yang
tidak bisa dihibur (Sdneyi Hans).

Dua gadis remaja menjemput saya. Dengan kendaraan Nissan Terrano mereka membawa saya ke sebuah panggung. Letaknya di muka halaman sekolah. Pagi itu mereka meminta saya untuk berbicara soal kuliah. Ini anak-anak yang sebentar lagi lulus. Semua anak kelas 3 SMU. Kaya, pintar, dan bersinar. Mereka memiliki segalanya. Sekolah yang komplit fasilitas. Orang tua yang tidak enggan mengeluarkan ongkos berapapun. Hari depan seakan mereka genggam erat. Mereka tahu tak ada yang bisa mengenyahkan mimpi yang sudah terajut rapi itu. Di muka panggung saya menyaksikan kampus-kampus yang mengiklankan diri. Kampus itu menjajakan diri untuk ditawar. Anak-anak manja, manis, dan segar itu saya lihat hanya mengintip sekadarnya. Stand kampus itu diisi dengan sebuah meja, penjaga, dan pajangan foto. Beberapa membawa majalah yang bersemangatkan pencarian siswa. Janggal, tak menarik dan mungkin juga tidak memikat. Kampus ini tak tahu kalau mereka kini berhadapan dengan generasi yang tak butuh janji. Anak-anak muda yang dipintarkan oleh google, dihibur dengan sajian film Twilght, dan dimanjakan oleh Mall. Sekolah, kampus, dan tempat ibadah seperti museum yang sesekali saja mereka kunjungi.

Sekolah seperti rumah yang mengekalkan kebiasaan. Tempat ibadah menjadi pelarian paling menyenangkan. Dan kampus hanya lahan untuk mematut diri. Ketiganya itu kini dengan mudah beradaptasi dengan tuntutan yang serba cepat, praktis, dan menyenangkan. Andai kita saksikan sekolah tampak kalau mereka begitu menjaga kenyamanan siswa. Beberapa sekolah menyediakan fasilitas dan kegiatan yang berlebihan. Pacuan kuda, konser musik, atau wisata ke luar negeri. Malahan ada kampus yang mendirikan restoran yang memuat semua masakan dunia. Begitu pula dengan tempat ibadah: pelatihan baca Qur’an singkat atau training sholat khusyu’ hingga menikah usia di. Kecepatan, kepraktisan, dan efisiensi adalah roh budaya pop. Budaya yang muncul dan rahim ekonomi neoliberalisme. Sebuah sistem yang amat memuja kemudaan, temuan baru dengan semangat siap pakai. Disana berlaku hukum: Apa yang kamu pakai akan menunjukkan dimana posisi kelasmu. Sama halnya dengan kredo yang bunyinya nyiyir: dimana kamu sekolah disanalah masa depanmu ditentukan.

Agaknya Ridho berada dalam pinggiran budaya in Sekolahnya saja di lAIN. Kampus yang kita tahu paras dan penampilan mahasiswanya. Merubah diri dengan nama UIN tak membuat kampus ini jadi magnet kaum muda borjuis, liberal, dan mapan. Pilihan mereka masih seputar: UI, ITB, UGM. Kemudian ia aktif di Ikatan Remaja Muhammadiyah yang kini berubah jadi 1PM. Sarang gerakan yang memang jauh lebih progresif, militan, dan mendobrak ketimbang organisasi sejenisnya, seperti: pramuka. Dan Ia bertempat tinggal di Yogyakarta. Kota yang dibanjiri oleh pelajar dan aktivitas modal. Di dekat kampus UIN bertengger mall-mall yang berlomba discount harga. Dikelilingi situasi itulah pembentukan identitas sosial begitu rentan. Kepemilikan memang jadi dasar identitas, di samping kemampuan bahasa dan kepemilikan simbol-simbol kultural. Ridho seperti anak muda Iainya, berusaha untuk menegaskan identitas sembari menggapai serta menegaskan posisi. Baik sebagai seorang sarjana, aktivis, maupun seorang pria. Buku ini salah satu cara dirinya menyatakan din.

Ditulis dengan bahasa renyah, segar, dan sederhana buku mi mengutarakan kegelisahan. Perjumpaannya dengan Handphone, Tivi, Game, Google, Cafe, Facebook, atau Chatting melalui internet adalah luapan pengalaman yang dimaknai dan ditafsirkan dalam benak posisi serta kepentingannya. Benaknya memendam rasa yang bercampur-campur: senang, kesal sekaligus mengejutkan. Ridho mungkin tak terlampau geram tapi menikmati sekaligus sedikit gelisah. Geliat itu yang beredar melalui tulisan-tulisannya. Ia membungkus semua yang dilihat dengan bahasa kesangsian yang polos, lugu, dan bersemangat bertanya. Ridho memang tak mengusut dan mana datangnya budaya pop, akarnya dan siapa, dan bekerja mengikuti logika macam apa. Yang dibayangkannya tetap sebuah gairah sekaligus gelisah. Kumandangnya dalam tiaptulisan hanya isyarat ringan dan tidak pedih. Ridho tak menemukan korban dan tertumbuk pada aparatus budaya pop. Ia hanya ingin mencoba kembali, memberi peningatan akan kekuatan sugestif budaya mi.

Agnesivitas budaya pop mi dilambangkan dengan energik oleh media. Kuasa media yang dengan mahir menciptakan kisah, tokoh sekaligus monumen tentang apa yang sudah mereka kerjakan. Landasan untuk berkuasanya budaya pop yang memang selalu berpatokan: cepat, dangkal, dan massal. Lihatlah film-film honor Indonesia yang tidak menakutkan tapi menguatirkan akal sehat. Sama halnya dengan semangat patriarki yang melandasi semua adegan sinetron. Seperti sebuah kota mati maka budaya pop menangguk massa potensial. Mereka pasrah, ikut, dan terendam di dalamnya. Mereka mempunyai umat yang muda, agresif, dan bergaya kota. Saksikan saja bagaimana potongan baju modis yang kini dikenakan oleh anak kota hingga pedusunan. Juga Indomaret dan Alfamart yang mengisi samping dan depan sawah. Atau pertumbuhan salon kecantikan yang memberi menu SPA hingga kiat membersihkan jerawat. Ringkasnya desa dan kota tak lagi dibedakan oleh tata rias tapi ‘derajat dan kedalaman’ eksploitasi kapital. Sebuah eksploitasi yang menggairahkan karena semua orang merasa dilibatkan dan ikut serta dalam pekan raya budaya pop ini.

Jika begitu maka tulisan ini jangan dihakimi sebaga ilmiah, feature, atau essai.Tulisan ini adalah bentuk perayaan itu sendiri. Ridho meski agak geram tapi juga begitu menikmati. Saksikan tulisannya tentang facebook. Jaring pertemanan yang sejarahnya begitu dikuasai melebihi. pengetahuannya tentang hari lahir RA Kartini. Begitu pula mengenai televisi. Budaya tonton yang sekarang ml hendak dimatikan. Semangat menarik karena IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) punya kampanye mengenai matikan TV. Karenanya tulisan mi adalah keterlibatani yang intens budaya pop. Diam-diam kita merayakan, mengamini, dan mencangkokkan diri kesana. Bukan sebuah kekeliruan.Tidak sesuatu yang sesat. Hanya itu salah satu kecanggihan budaya pop menusuk kita semua. Dan tampaknya kita selalu punya kesernpatan untuk mensiasati. Kita punya banyak ruang untuk menegoisasi. Ridho dalam tulisannya itu berusaha untuk mentoleransi sekaligus berusaha untuk melawan, mencari ruang, dan menggariskan peran yang bisa dilakukan.

Sebagal penutup, buku ini memang sangat unik dan menarik. Ridho seperti biasanya memprovokasi kita untuk percaya jika budaya pop bukan sesuatu yang ‘tamat’ begitu saja. Ada pergolakan, tankmenarik, dan semangat untuk tidak mau takiuk. Tulisan ini kemudian seperti sebuah perayaan kembati. Disegarkan ingatan kita atas lubang-lubang kepercayaan atas budaya pop. Kita tak bisa menghindar, tak mampu bersembunyi tapi bisa bersiasat. Karenanya tulisannya begitu mendidih. Walau agak ringan, lompatannya untuk menelaah benih-benih budaya pop telah menyadarkan kita akan ancamannya

Jadi, buku ini memang menarik untuk tidak sekadar dibaca, tapi menjadi renungan. Sebuah renungan yang akan membangunkan kita bahwa ‘nalar dan kesadaran’ kritis memang tak mudah ditidurkan begitu saja. Ridho memancing kita untuk mengusut keyakinan kita. Nyatanya hidup dalam budaya pop tak sekadar disiasati tapi juga butuh perlawanan tangguh. Ridho membeni bukti bagaimana budaya pop itu dihidupkan, dikhianatj, dan diterjang. Ia menjadi salah satu sosok muda yang berusaha untuk membaca dengan ‘tafsir baru’atas budaya pop. Selamat membaca.

Yogyakarta, 10 Mei 2009

Dapatkan Buku Ini di:

1. Toko Buku Gramedia
2. Toko Buku Gunung Agung
3. Toko Buku Utama
4. Toko Buku Karisma
5. Toko Buku Togas Mas
6. Toko Buku Social Agency
7. Toko Buku Uranus
8. dan Toko Buku Terdekat Anda.

Tidak ada komentar: