Minggu, 15 November 2009

SANTRI SABLENG “SEBUAH CATATAN DARI BILIK PESANTREN”


JUDUL BUKU: SANTRI SABLENG “SEBUAH CATATAN DARI BILIK PESANTREN”
PENERBIT: LEUTIKA PUBLISHER YOGYAKARTA
PENULIS: RIDHO AL-HAMDI
ISBN: 978-602-8597-08-1
UKURAN: 13 X 19 CM
TEBAL: 234 HAL
TAHUN TERBIT: OKTOBER, 2009
HARGA: 35.000,-
DISTRIBUTOR TUNGGAL:
CV. DIANDRA PRIMAMITRA MEDIA
0274-871159, 031-5928869, 021-8508801, 088802844621, 088802844622, 088802844623, 088802844624, 081578784085

Kata Pengantar
Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU.
(Guru Besar Filsafat Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)

Kata “santri” bukan sekadar kata yang bermakna tunggal. Sejak pertama kata itu muncul ke ruang publik, entah kapan, mungkin jauh sebelum kemerdekaan, orang pun memberi makna beragam. Ada yang positif, ada yang pejoratif, ada yang akademik, ada pula yang menunjuk sebuah tradisi.

Demikianlah Clifford Geertz mengangkat kata itu di belantara debat ilmiah. Di ruang-ruang kampus juga tak pelak dan kritik pernaknaan itu. Pejoratif, karena kata itu dipakai untuk melukiskan sebuah kultur yang dinisbatkan pada orang-orang ndesit (Jawa; Jogja) dengan cara berpakaian khas, gaya hidup unik, dan laku sosial-politik tersendiri. Positif, karena kata itu menunjukkan sebuah komitmen atas sejumlah nilai moral bersumber ajaran agama (Islam).

Tulisan dalam buku ini memakai kata “santri” secara agak berbeda dan debat ilmiah dan sosio-budaya tersebut di atas. Kata “santri” bagi si penulis dimaksudkan untuk menunjuk orang-orang yang selama beberapa waktu tinggal dan hidup di ruang-ruang pesantren dengan bilik-bilik beragam warna.

Ragam bilik pesantren itu pun tak kalah rumit dan perdebatan tentang maksud kata itu ketika dipakai seperti halnya kata “padepokan”. Belum lagi aliran pemikiran atas ideologis yang melatarbelakangi kehadiran dan kehidupan pesantren tersebut. Demikian pula model pembelajaran atau gaya mengajar sang guru atau yang di dunia pesantren disebut khusus sang kyai atau ustadz.

Dan bilik-bilik beragam dunia pesantren itulah Ridho A1-Hamdi mencoba menulis ulang rekaman hidupnya selama menjadi santni yang entah aliran apa, ideologi macam mana, gaya mengajar sang ustadz bagaimana, bisa diperdebatkan. Tapi, satu hal agar jelas, setelah berada di luar pesantren yang mendidiknya selama beberapa tahun, ía mencoba melihat kembali secara kritis. Sayang, agak sulit diperoleh pengakuan tentang apa yang didapat penulis sebagai santri selama tinggal di dunia pesantren. Boleh jadi, catatan kritisnya mi merupakan kilas balik apa yang ia peroleh selama ini dan bilik-bilik pesantren itu.

Secara kultural, kata “santri” dipakai untuk menunjuk fakta sosial keberagamaan orang-orang yang menyatakan memeluk agama Islam yang nampak lebih mentaati ketentuan-ketentuan ajaran agama itu. Kata ini juga dipakai untuk menunjuk fakta orang-orang yang mempelajari ilmu agama Islam di lembaga .yang disebut pesantren. Entah berapa lama, entah mukim atau ngalong, orang yang pernah tinggal di lembaga ini bisa disebut atau menyebut diri sebagai santri. Kata ini juga bisa dipakai untuk menunjuk seseorang yang menjadi pengikut seorang kyai atau ustadz.

Istilah santri di atas lebih bermakna politik ketika kata itu dipergunakan untuk memperbedakan sekelompok orang dengan kelompok lain yang sama-sama menyatakan memeluk agama Islam. Mereka yang secara kasat mata (batinnya gak tahu) terlihat lebih taat disebut dengan “santri” dan mereka yang kurang atau tidak taat diberi sebutan dengan kata “abangan”.

Makna inilah yang lazim dipakai ketika dalam kehidupan sehari-hari seseorang menyebut kata santri. Kata santri di dalam buku mi lebih dimaksudkan untuk menunjuk orang atau sekelompok orang yang belajar di pesantren. Kadang-kadang penulis juga menyebut kata santri untuk maksud seperti lazim dipakai oleh masyarakat publik di atas. Tapi, kata santri selalu berhubungan dengan sebuatan lembaga pendidikan tertua di nusantara ini yang dikenai dengan pesantren.

Kata pesantren dipakai untuk menunjuk suatu model ban dalam pembelajaran, yaitu suatu sistem tinggal bagi anak-anak ( yang belajar di sekolah atau madrasah di sebuah asrama yang dikelola oleh sekolah atau madrasah bersangkutan. Pesantren model baru ini merupakan gejala yang muncul sejak tahun l980-an dalam perkembangan sekolah umum dan madrasah. Sebaliknya juga pesantren model lama pada era yang sama mengembangkan model pembelajaran sekolah atau madrasah.

Catatan Ridho Al-Hamdi mi tentu merupakan satu catatan tentang bagaimana Ia menangkap, memahami dan merespon sistem pembelajaran pesantren. Tidak jelas batas antara pesantren dan sekolah atau madrasah. Dua istilah ini sekarang juga bisa dipakai untuk maksud yang sama ketika madrasah diartikan sebagai sekolah dengan ciri khusus. Demikian pula gaya mengajar atau mendidik sang guru atau ustadz dan kyai, sang senior atau lurah pondok, atau pengurus siswa, suasana kehidupan dan lingkungan fisik dan batin di dalamnya.

Tentu ada beragam cara bagi seorang santri atau siswa dalam menangkap suasana kampus atau pondok berikut segala macam ragam yang berkaitan dengannya Seribu santri atau siswa tentu akan melahirkan seribu ragam catatan tentang dunia pesantren atau sekolah dan madrasah dimana ia belajar dan bertinggal selama beberapa tahun. Tapi, itulah fakta batin yang dapat diungkap oleh si penulis dengan agak lebih rinci dan detail. Sayang, memang tidak dengan jelas dibedakan antara ruang pesantren dan ruang sekolah atau madrasah yang tentu berbeda walaupun di sisi lain kesatuan pesantren (asrama) dan bangku-bangku di ruang kelas itu telah membentuk suasana khas yang bagi penulis tak dapat dipisahkan.

Pembaca yang ingin tahu dalamnya pesantren tempat penulis ini pernah menimba ilmu, tulisan mi tentu bisa memberi sejumlah informasi. Bagi yang pernah sama-sama tinggal di pesantren yang sama atau di pesantren yang berbeda, tulisan ini mungkin merupakan sisi lain dan kehidupan seorang santri. Lebih penting bagi pembaca yang pernah nyantri dan pesantren yang sama atau berbeda untuk menulis catatan batin dan bilik-bilik pesantren guna memperkaya informasi dan dalam.

Buku Santri Sableng, Sebuah Catatan dan Bilik Pesantren mi penting juga dibaca para orang tua untuk bisa lebih memahami anak-anak mereka yang sejak lulus SD, kadang sejak usia SD sudah dikinim ke sekolah atau madrasah atau pesantren, jauh dan rumah mereka. Sejak itu, sebagian besar anak-anak mi tidak lagi kembali ke kampung atau numah dan keluarganya. Mereka, anak-anak mi, tidak lagi mempunyai pengalaman batin hidup dalam dunia keluarga, dunia kampung dalam suasana permainan anak-anak seusianya. Bagi pengelola pendidikan, khususnya pendidikan Islam, tulisan ini tentu penting dibaca untuk menyelami dunia batin anak-anak selama menjalani hidupnya di dunia pesantren, jauh dan rumah dan keluarga, jauh dan teman sebaya sekampung sepermainan, selama anak-anak itu menjalani kegiatan belajar-mengajar di madrasah atau sekolah.

DAPATKAN BUKU INI DI TOKO BUKU TERDEKAT:

1. GRAMEDIA
2. GUNUNG AGUNG
3. TOGA MAS
4. UTAMA / BOOKS CITY
5. SOCIAL AGENCY
6. URANUS
7. DLL

Tidak ada komentar: