Sebuah Novel “LUMPUR”
Buku Pertama dari Trilogi Tanah dan Cinta
“…Kemanusiaan tidak cukup dengan rasa simpati, tapi juga merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaan diri kita sendiri…” D. Zawawi Imron
Sinopsis: KEHIDUPAN, Tanur dan kawan-kawannya dari pangkal ke ujung, penuh lika-liku. Bayangkan, mereka luntang-lanting mengungsi akibat luapan lumpur itu. Di kala semestinya mereka tumbuh seperti anak-anak yang ingin meraih cita-cita setinggi langit, tak hanya kampung halaman yang lenyap tertimbun di sana, segenap asa pun terkubur di kubangan lumpur itu. Hampir saja mereka patah arang andai tak ada perempuan setegar Daya, juga lelaki luar biasa seperti Kiai Sola dan Kasan yang menopang semangatnya. Semburan lumput setara magma gunung berapi dan meluap tak henti-henti, memang bukan ancaman sepele. Prahara yang pertama kali muncul di Ronokenongo itu juga buka tidak mungkin menenggelamkan Pulau Jawa, kelak. Apalagi, hanya dukuh-dukuh kecil di Porong. Profil Penulis: Yazzid R. Passandre: Lahir di Sumenep, Madura. 1978. Sejak di bangku sekolah, ia bermimpi menulis tentang kakeknya dan selesai dalam buku, Daeng Sandre; Jejak, Kiprah dan Petuhanya. Novel pertamanya yang ia tulis adalah Tonggak Sang Pencerah (TSP). Lumpur (L) adalah buku pertama dari novel trilogi Tanah dan Cinta yang bertutur tentang kisah kemanusiaan masyarakat terdampak “Lumput Lapindo” di Porong, Sidoarjo. Tanggapan Para Tokoh: 1. Akibat perselingkuhan uang dan kekuasaan, derita rakyat kecil yang terkena dampak ‘Lumpur Lapindo’ seperti telah di telan waktu, semakin lama semakin dilupakan. Inilah kultur bangsa yang tunamoral dan tunanurani, seperti tergambar tajam dalam novel ini (Ahmad Syafi’i Ma’arif) 2. Novel ini bertutur kuat tentang perlawanan terhadap ketidakbebasan, ketidakadilan, dan pembiaran. Ada pesan fundamental: Manakala kebudayaan dan kemanusiaan digadaikan sekadar untuk kepentingan korporasi dan kekuasaan, saat itulah denyut dan roh kehidupan sebuah bangsa terhenti (Rizal Ramli). 3. ”LUMPUR”, adalah novel sejarah, dan upaya gigih perang melawan lupa”. Kata Daniel M Rosyid, Guru Besar ITS 4. Novel ini memberi wajah manusiawi atas saling sengkarut malapetaka lingkungan dan sekaligus panggung pertunjukan teknik penyelesaian masalah khas Indonesia: penuh ironi dan kabut ketidakadilan. Kata Hanum Salsabiela Rais – Penulis Buku 99 Cahaya di Langit Eropa 3. Dan masih banyak lagi tanggapan para tokoh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar